Oleh :
DR. Drs. SAMSUDIN, S.H., M.H., M.Pd
(Pj Gubernur Lampung)
PERS adalah media massa yang melakukan kegiatan jurnalistik, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Informasi tersebut bisa berupa tulisan, suara, gambar, data, dan grafik.
Kata “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti “press”. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk menggambarkan media yang ditujukan untuk mencapai masyarakat yang luas.
Pers juga berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Kegiatan pers ini bisa dilakukan oleh wartawan media elektronik ataupun media cetak.
Wartawan merupakan pekerja jurnalistik dengan tugas utama mengumpulkan dan melaporkan informasi sesuai fakta yang ada.
Wartawan termasuk sebuah profesi. Setiap profesi memiliki kode etik. Pastinya setiap ada kode etik atau aturan pastinya ada sanksi yang menanti bila wartawan melanggar kode etik. Wartawan yang harus tunduk pada kode etik jurnalistik (KEJ) yang diatur oleh Dewan Pers, Dewan Pers salah satu lembaga yang mengatur pers di Indonesia.
Dewan Pers satu-satunya lembaga yang mengatur regulasi pers di Indonesia. Dewan Pers Lembaga independen yang dibentuk untuk melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional. Dewan Pers dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dewan Pers berjumlah 9 orang yang terdiri dari tiga orang wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, tiga orang pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers, dan ga orang tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan/atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Tugas Dewan Pers di antaranya, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, mengembangkan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan KEJ, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan dan lainnya.
Sejatinya jika ada pemberitaan kepolisian atau penegak hukum tidak langsung serta merta memeriksa wartawan atau pers.
Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk sewenang-wenang memanggil wartawan sebagai saksi dalam suatu berita, sederhananya, jika ada kasus dan wartawan sebagai pembuka jalan penyelidikan kasus tersebut, wartawan bisa menolak dika diminta menjadi saksi. Karena wartawan memiliki tanggung jawab profesional meliput berita.
Wartawan hanya dapat dimintai keterangan sebagai saksi apabila wartawan tersebut atau perusahaan media tempatnya bekerja terlibat secara pribadi atau korporasi dalam kasus korupsi. Namun, jika wartawan hanya menjalankan tugas jurnalistik, ia tidak dapat dijadikan saksi dalam proses penyidikan. Namun itu juga tergantung dari hati seorang wartawan, karena ada banyak kasus wartawan membantu aparat proses penyelidikan suatu kasus.
Pertanyaan mendasar, bagaimana jika ada pemberitaan yang merugikan salah satu atau lembaga?. Jawabannya yang merasa dirugikan tidak bisa serta merta melaporkan pada kepolisian. Yang merasa dirugikan bisa mengajukan Hak Jawab pada media tersebut secara proporsional, Pers juga harus memberikan ruang yang sama serta siap menjalankan Hak Koreksi. Kembali pada fitrahnya manusia tempatnya salah dan lupa.
Kemudian jika yang merasa dirugikan belum merasa puas atau merasa dizhalimi oleh Pers diselesaikan atau diadukan pada Dewan Pers, nantinya Dewan Pers yang menganalisa memberikan rekomendasi berita tersebut, soal sanksi bisa ringan dan berat, yang ringan seperti pencabutan kartu uji kompetensi wartawan (UKW) dan yang berat bisa direkomendasi ke pidana.
UKW merupakan sertifikasi yang dilakukan untuk menilai kualitas dan profesionalitas wartawan. Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Pada akhir ujian, wartawan akan mendapat predikat kompeten. Nah di sinilah seorang wartawan butuh pengakuan, ibarat pengemudi yang memiliki surat izin mengemudi (SIM). Kartu UKW diibaratkan SIM.
Lantas apa saja KEJ itu?
Berdasar Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik. Kemudian disahkan berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Dalam Surat Keputusan Dewan Pers tersebut menyebutkan KEJ berjumlah 11 Pasal berikut penafsirannya yang tercantum pada laman resmi Dewan Pers Indonesia.
Pasal 1
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Agar tidak timbul kesalahpahaman atau salah tafsir, Kode Etik Jurnalistik juga memberikan penjelasan sebagai berikut. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Terakhir, tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
“Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.”
Cara-cara profesional yang dimaksudkan adalah: Menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang, menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara, tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Menurut Kode Etik Jurnalistik, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Berimbang berarti memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Lalu, opini yang menghakimi berarti pendapat pribadi wartawan. Dewan Pers Indonesia menekankan bahwa hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Terakhir, asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
“Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.” Definisi berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul adalah sebagai berikut. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Sebagai tambahan, Kode Etik Jurnalistik juga menyatakan agar dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
“Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Identitas yang dimaksud di sini berarti semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sementara, yang termasuk anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
“Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Menyalahgunakan profesi berarti mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Sementara suap diartikan sebagai segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
“Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.” Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Lalu, definisi embargo di sini berarti penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. Terakhir, off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.” Prasangka didefinisikan sebagai anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Sementara diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
“Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.” Yang dimaksud dengan menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Sementara kehidupan pribadi berarti segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
“Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.” Dewan Pers Indonesia mengartikan segera sebagai tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Sebagai tambahan, permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.” Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sementara hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Terakhir, proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Dewan Pers berwenang melakukan penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik. Sementara itu, organisasi wartawan dan/atau perusahaan pers berwenang melakukan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik. (*)